Mabadi Asyarah (10): Ilmu Fiqih
1.
Definisi Fiqih ( الحد )
Ada dua definisi Fiqih yang populer, yaitu definisi Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi’i Rahimahuma Allah. Berikut definisi keduanya:
a. Definisi Fiqih menurut Abu Hanifah:
معرفة النفس ما لها و ما عليها
Artinya (±): “Fiqih adalah pengetahuan seseorang tentang hak
dan kewajibannya”
Sebelum masa Imam Syafi’I,
definisi ini adalah definisi Fiqih yang paling masyhur dikalangan para Ulama.
b. Definisi Fiqih menurut Asy-Syafi’i:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها
التفصيلية
Artinya (±): “Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat
yang bersifat amaliyah, yang diraih dari dali-dalil terperinci”
Definisi inilah yang sampai sekarang digunakan untuk mendefinisikan Fiqih sebagai sebuah bidang ilmu. Penggunaan term Fiqih sendiri mengalami evolusi dari masa Rasulullah hingga para Imam Mujtahid Mutlak.
Pembahasan lebih jelas mengenai makna Fiqih secara etimologi dan terminologi dapat dibaca di artikel Apa itu Fiqih?.
2.
Objek Kajian Ilmu
Fiqih ( الموضوع
)
Objek kajian Ilmu Fiqih adalah amal perbuatan seorang mukallaf yang
ditinjau dari ketetapan hukum yang berlaku untuk amal perbuatannya tersebut.
Mukallaf adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab akan setiap
perbuatannya, sehingga segala amal perbuatannya memiliki konsekuensi hukum
(baik di dunia, maupun di akhirat). Ada tiga syarat seseorang dihukumi sebagai
seorang mukallaf, yaitu: balig, berakal sehat, dan telah sampai kepadanya
dakwah Islamiyah.
3.
Manfaat Ilmu Fiqih( الثمرة )
Manfaat mengkaji Ilmu Fiqih adalah mengetahui hukum syariat yang berlaku untuk
amal perbuatan kita, sehingga dengan pengetahuan tersebut kita mampu mentaati
hukum-hukum yang Allah tetapkan bagi kita agar tercapainya kemaslahatan di
dunia dan akhirat.
4.
Kelebihan Ilmu Fiqih
( الفضل )
Fiqih adalah salah satu bidang Ilmu yang sangat penting bagi seorang
mukallaf, bagaimana tidak? Di dalamnya membahas tentang hukum syariat yang
menjadi cara bagi kita untuk mengabdi kepada Tuhan. Saking pentingnya, para
Ulama sepakat bahwa Fiqih menjadi syarat bagi seseorang untuk bisa mengamalkan
ilmu Tasawuf dengan benar, sebagaimana disampaikan oleh Sayyidi Abu Abbas Ahmad
bin Ahmad bin Muhammad bin Isa Zarruq al-Fasi (w: 899H) dalam kitabnya yang
berjudul Qawaid At-Tasawuf. Jadi, jika terjadi pertentangan antara Fiqih dan
Tasawuf, maka Fiqih lah yang harus kita pilih.
5.
Korelasi Ilmu Fiqih dengan Ilmu lainnya ( النسبة )
Sebagaimana bidang ilmu dalam Islam pada umumnya, Fiqih memiliki hubungan
dengan ilmu-ilmu lainnya. Hubungan ilmu Fiqih dengan ilmu Tasawuf dan Aqidah misalnya, jika kita analogikan: Fiqih bagaikan
surat, Tasawuf bagaikan kantor pos sebagai media untuk mengirim mengirim, dan
Aqidah bagaikan Alamat pengiriman surat.
6.
Penggagas Ilmu Fiqih
( الواضع )
Pada masa kenabian, seluruh otoritas penetapan hukum syariat ditetapkan
oleh Nabi, baik itu hukum-hukum yang bersifat qath’i (pasti), maupun yang
bersifat dzanni (tidak pasti), karena seorang Nabi adalah satu-satunya media
Tuhan menyampaikan wahyunya kepada umat manusia. Setelah berakhirnya masa
kenabian yang ditutup dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, maka otoritas pemegang
keputusan hukum-hukum yang bersifat dzanni berpindah kepada seseorang yang
mumpuni pengetahuan agamanya, yang dikenal dengan istilah Mujtahid. Kajian
dalam ilmu Fiqih sendiri kebanyakan adalah hukum-hukum yang bersifat dzanni,
sehingga kebanyakan penyelesaian masalah-masalah dalam Fiqih diselesaikan
dengan cara berijtihad yang dilakukan oleh seorang Mujtahid. Mujtahid sendiri
memiliki beberapa tingkatan, yang paling tinggi tingkatannya adalah Mujtahid
mutlak. Oleh karena itu, para Ulama menyebut para Imam Mujtahid Mutlak sebagai para
penggagas ilmu Fiqih. Ada banyak jumlah Mujtahid Mutlak pada masa salaf (masa
sahabat, tabi’in, dan tabiu tabi’in). Namun karena masalah otentisitas sejarah,
hanya ada empat Imam Mujtahid Mutlak yang metodologi ijtihadnnya dapat
dipertanggung jawabkan, yaitu:
- Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit (80H-150H);
- Abu Abdillah, Malik bin Anas (93H-179H);
- Abu Abdillah, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
(150H-204H);
- Abu Abdillah, Ahmad bin Hanbal
(164H-241H).
7.
Nama/Term Ilmu Fiqih
( الاسم )
Ada dua istilah lain yang digunakan untuk menyebut ilmu Fiqih, yaitu ilmu
Furu’uddin (cabang agama) dan ilmu Syariat.
- Furu’uddin: istilah ini digunakan oleh para ulama untuk menyebut
masalah-masalah khilafiyah, yaitu masalah-masalah yang dibenarkan berbeda
pendapat di dalamnya (selama diambil dari sumber hukum syariat baik secara
langsung maupun tidak langsung) karena ditetapkan dari dalil-dalil yang dzanni.
Lawan katanya adalah Ushuluddin
(pokok-pokok agama), yaitu masalah-masalah agama yang tidak dibenarkan berbeda
pendapat didalamnya, karena diambil dari dalil-dalil yang qath’i. Kajian dalam
Fiqih sendiri tidak spesifik masalah-masalah furu’uddin, namun juga mencakup
masalah masalah Ushuluddin (seperti keharaman zina). Term Furu’uddin sendiri
digunakan untuk penyebutan ilmu Fiqih karena sebagian besar kajian ilmu Fiqih
membahas tentang hukum-hukum yang bersumber dari dalil-dalil dzanni. Oleh
karena itu, penggunaan term Furu’uddin untuk merujuk ilmu Fiqih dalam ilmu
balagah disebut dengan Majaz Mursal mim Babi Ithlaqil Khas wa Iradatil
Aamm.
- Syariat: bermakna segala hukum yang telah Allah tetapkan bagi mukallaf. Dari
definisi Syariat dan Fiqih, kita dapat mengetahui bahwa Syariat lebih umum
daripada Fiqih. Dalam ilmu Balagoh, penggunaan term seperti ini disebut Majaz
Mursal min Babi Ithlaqil Aamm wa Iraditil Khas. Istilah Syariat biasanya
digunakan Ulama Tasawuf untuk menyebut Fiqih. Mereka juga menyebut ilmu Aqidah
dengan istilah Haqiqah, dan Tasawuf dengan istilah Thariqah.
8.
Sumber Ilmu Fiqih ( الاستمداد )
Ada dua kategori sumber hukum dalam Fiqih, yaitu sumber primer dan
sekunder. Berikut rincian keduanya:
a. Sumber Pokok: Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
b. Sumber Sekunder: terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang muttafaq
alaih (disepakati) dan mukhtalaf fiih(yang diperdebatkan).
- Muttafaq alaih: Ijma dan Qiyas;
- Mukhtalaf Fiih : Al-Istihsan, Al-Mashlahah Al-Mursalah,
Al-Istishab, Al-Urf, Syar’u man Qablana, Madzhab Shahabi, dst.
9.
Hukum Syariat
Mempelajari Ilmu Fiqih ( الحكم الشرعي )
Mempelajari Fiqih hukumnya fardu ain (tanggung jawab/kewajiban personal) untuk
segala hal yang bersifat urgen dan yang termasuk kedalam pokok-pokok agama, seperti
shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Adapun untuk hal-hal yang tidak termasuk
dua kategori tersebut, maka hukumnya adalah fardu kifayah (tanggung jawab/kewajiban
komunal).
10.
Masalah-masalah/Bahasan
Ilmu Fiqih ( المسائل )
Bahasan ilmu Fiqih adalah hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah yang
diperoleh dari dalil-dalil terperinci, seperti: niat wajib dalam shalat,
suci dari hadats adalah syarat shahnya shalat,dan lain-lain. Pada umumnya,
para Ulama mengkategorikan masalah Fiqih menjadi 4 bagian (yang disebut rubu’,
artinya seperempat), yaitu: ubudiyah (ritual), mu’amalah (sosial), munakahah
(keluarga), dan jinayah (pemerintahan).
Wa Allahu A’lam....
Referensi:
- Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili
- Syarh Jam’ul Jawami (Tajuddin As-Subki), karya Syaikh Jalaluddin
Al-Mahalli
- Qawaid Tasawuf, karya Syaikh Ahmad Zarruq
0 Response to "Mabadi Asyarah (10): Ilmu Fiqih"
Post a Comment