Islam dan Kristen: Nabi, Agama, dan Kitab Suci


Ketika Allah SWT menciptakan manusia, Dia memberikannya akal (Intelek) dan kekuatan pikiran. Para Ulama Rahimahum Allâhu ta’ala mendefinisikan manusia sebagai al-hayawan an-natiq  (hewan yang berpikir) dan ungkapan dalam filsafat Cartesian,“Saya berpikir, karena itulah saya ada” dengan jelas mengungkapkan fakta ini.
            Faktor utama yang membedakan manusia dari makhluk lain diantaranya:
- Disamping memiliki tubuh manusia juga memiliki jiwa;
- Memiliki kemampuan untuk berpikir;
- Memiliki kemampuan untuk menilai semua kejadian dengan pikirannya;
- Memiliki kemampuan untuk memutuskan dan melaksanakan keputusannya;
- Memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang jahat;
- Memiliki kemampuan untuk menyadari kesalahannya juga bertobat, dan sebagainya.
Tetapi pertanyaannya adalah: Bisakah manusia menggunakan akal (senjata terkuat yang diberikan kepadanya) tanpa sebuah panduan, atau bisakah dia menemukan jalan yang benar dan memahami Allah SWT sendiri tanpa sebuah panduan?
Pandangan sejarah retrospektif akan menunjukkan kepada kita bahwa ketika dibiarkan sendirian tanpa bimbingan wahyu, manusia selalu menyimpang ke jalan yang salah. Hanya dengan menggunakan pikirannya saja, mungkin manusia mampu berpikir tentang Dzat Yang Mahakuasa yang menciptakannya, namun tak akan mampu menemukan jalan menuju Allah SWT. Mereka yang tidak mendengar tentang Para Nabi yang diutus oleh Allah, pertama-pertama mencari “Sang Pencipta” di sekitarnya. Matahari yang menjadi makhluk yang paling berguna bagi manusia akan “menggiring” sebagian manusia untuk berpikir bahwa Matahari adalah Dzat Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, orang-orang tersebut mulai menyembahmatahari. Kemudian, saat mereka melihat “kekuatan besar” di alam, seperti angin kencang, api, lautan yang ganas, gunung berapi dan sejenisnya, mereka mulai berpikir bahwa fenomena alam tersebut sebagai asisten bagi “Sang Pencipta”. Mereka berusaha melambangkan fenomena-fenomena tersebut. Konsekuensinya, kejadian tersebut melahirkan berhala-berhala. Mereka takut akan murka berhala-berhala tersebut dan mengorbankan hewan-hewan sebagai tumbal. Naasnya, keadaan tersebut bahkan mengorbankan manusia untuk dijadikan tumbal. Setiap peristiwa baru menginspirasi terciptanya berhala baru, meningkatkan jumlah berhala yang melambangkan peristiwa-peristiwa tersebut. Ketika Islam (Syariat Nabi Muhammad SAW) pertama kali menghiasi bumi, terdapat 360 berhala di Kabah.
Singkatnya, tanpa wahyu manusia tidak akan pernah bisa memahami Allah SWT, Sang Pencipta seluruh alam semesta, Dzat Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Abadi. Bahkan sampai hari ini, masih ada orang yang mendewakan matahari, begitu juga api. Tentunya hal tersebut tidaklah mengherankan, karena tanpa panduan wahyu yang seumpama cahaya, seseorang tidak akan mampu menemukan jalan yang benar dalam kegelapan. Hal ini dideklarasikan dalam Al-Qur’an surat Al-Isra (17) ayat ke-15 yang terjemahannya (-/+): "... dan Kami tidak akan mengazab (seseorang) sebelum Kami mengutus seorang rasul (kepadanya). "
Allah SWT mengutus para Nabi AS untuk mengajarkan hamba-hamba-Nya bagaimana menggunakan akal, untuk mengajari mereka tentang Keesaan-Nya, dan untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
Para nabi AS adalah manusia seperti kita. Mereka makan, minum, tidur, dan merasa lelah juga. Yang membedakan mereka dari kita manusia biasa adalah kemampuan intelektual dan berpikir mereka jauh lebih hebat dari kita. Selain itu, mereka memiliki kualitas moral yang murni, karenanya mereka memiliki kemampuan untuk menyampaikan perintah Allah SWT kepada kita. Para Nabi AS adalah para pemandu terbaik menuju jalan Allah. Nabi terakhir dan yang paling tinggi derajatnya adalah Nabi Muhammad SAW yang menerima kitab suci terakhir, yaitu Al-Qur'an al-Karim (Bab selanjutnya tentang Islam akan memberikan informasi lebih lanjut tentang hal ini). Ilmu yang berisi tentang bimbingan dari Nabi Muhammad SAW disebut dengan Hadits yang telah dikumpulkan dalam kitab-kitab hebat. Selain Al-Qur'an dan Al-Hadits, ada pula para Ulama yang mulia yang juga memberikan kita bimbingan. Tetapi ada orang yang meremehkan dan mengabaikan peran para Ulama tersebut, dengan mengatakan, “Kenapa kita butuh para Ulama? Tidak bisakah seseorang menemukan jalan yang benar dan menjadi Muslim yang baik dengan hanya membaca buku Islam, Al-Qur'an, dan dengan mempelajari kitab Hadits? ” Anggapan ini sangatlah keliru. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar agama tidak akan bisa memahami makna mendalam didalam Al-Qur'an. Bahkan seorang atlet yang paling jago pun akan mencari pelatih ketika dia bersiap untuk menghadapi perlombaan bergengsi. Sebuah pabrik besar mempekerjakan pekerja senior, mandor, serta insinyur yang ahli. Seorang pekerja baru mulai bekerja di pabrik dengan belajar aspek dasar pekerjaannya dari pekerja senior tersebut, dan kemudian mempelajarinya dari mandor. Jika dia mencoba belajar langsung dari ketua insinyur sebelum belajar dari mereka, dia tidak akan memahami apa pun dari kata-kata dan perhitungan sang insinyur. Bahkan ahli senjata terbaik tidak dapat menggunakan senjata model barunya dengan benar kecuali diajarkan terlebih dahulu cara menggunakannya.
Karena itulah dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan, selain Al-Qur'an dan Hadîts, kita juga harus menggunakan karya para Ulama RA yang sering kita sebut "Mursyid Kamil" (pembimbing yang sempurna). Derajat tertinggi dari Mursyid kamil dalam syariat Islam adalah para Imam empat mazhab, yaitu Imam An-Nu’man bin Tsabit Abû Hanifah, Imâm Mâlik bin Anas, Imâm Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Rahmatullâhi 'alaihim ajma'în). Keempat Imam tersebut adalah empat pilar Islam. Setidaknya, kita harus mempelajari salah satu madzhab dari keempatnya untuk mempelajari arti Al-Qur'ân dan Hadîts yang benar. Ribuan Ulama telah menjelaskan kitab mereka. Siapa saja yang membaca penjelasan kitab-kitab mereka akan memahami agama Islam dengan benar dan baik. Kepercayaan yang dijelaskan dalam semua kitab-kitab tersebut adalah sama, yang disebut "Kepercayaan Ahlussunnah". Kepercayaan yang dibuat-buat setelahnya yang bertentangan dengan kepercayaan Ahlussunnah disebut "bid'ah" atau "dalalah" (penyimpangan). Prinsip-prinsip pokok agama yang dibawa oleh semua Nabi sejak Nabi Adam AS adalah sama, yaitu prinsip-prinsip kepercayaan (Aqidah). Allah SWT tidak menghendaki perbedaan dalam prinsip-prinsip pokok (Aqidah). Seperti Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-An’am (6) ayat ke-159 yang terjemahnya (-/+):  “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.”
Kepada siapakah seseorang yang sakit mata akan meminta bantuan? Kepada seorang satpam, pengacara, guru matematika, atau dari seorang dokter mata? Tentu saja, ia akan pergi ke dokter spesialis mata untuk mencari obatnya. Demikian juga, seseorang yang mencari obat untuk menyelamatkan iman dan kepercayaan harus meminta bantuan kepada spesialis agama, bukan pengacara, matematikawan, koran, atau film.
Untuk menjadi seorang Ulama yang sejati, seseorang harus memiliki pengetahuan yang baik tentang ilmu kontemporer, lulus ujian ilmu agama dan mendapat ijazah, serta hafal Al-Qur’an dan artinya diluar kepala, hafal ribuan hadits dan artinya diluar kepala, ahli dalam 20 cabang utama disiplin Ilmu Keislaman dan tahu delapan puluh cabang disiplinnya, paham tentang masalah-masalah dalam empat madhhab, mencapai tingkat ijtihâd di cabang-cabang ilmu tersebut, dan mencapai tahap kesempurnaan yang sering disebut Wilâyah Khâssais Muhammadiyyah, yang merupakan tingkatan tertinggi dalam Tasawwuf.

Hampir mustahil bagi orang awam (yang tidak sadar akan penyakit dan obat untuk hatinya) untuk bisa memilih ribuan hadits yang ada obat spiritualitasnya. Para Ulama Islam (yang menjadi spesialis di bidang tersebut) memiliki hati dan jiwa yang mampu mengekstrak hadits-hadits tersebut, dan menjadikannya resep obat yang tepat untuk jiwa manusia dan merekomendasikannya sesuai dengan sifat orang awam tersebut. Nabi Muhammad SAW seperti kepala dokter yang menyiapkan ratusan ribu obat-obatan untuk kebutuhan obat seluruh dunia, dan para Waliyullah dan Ulama seperti asisten dokter di bawah komandonya yang mendistribusikan dan memberikan resep dosis obat-obatan tersebut sesuai dengan masalah pasien. Karena kita sebagai orang awam tidak tahu penyakit apa yang kita derita ataupun obatnya. Jika kita mencoba untuk memilih obat sendiri untuk penyakit yang kita derita dari ratusan ribu obat-obatan tersebut (hadits), ada kemungkinan obat tersebut memiliki efek "alergi" atau efek samping lainnya yang akan menyerang kita. Sehingga bukannya mendapat manfaat, kita malah mendapat penderitaan baru. Bahkan, ada sebuah hadits menyatakan yang terjemahnya (-/+): “Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan akalnya (memalsukan tafsir yang bertentangan dengan para Ulama Ahlussunnah yang berdasarkan ajaran Nabi SAW dan para sahabatnya RA) maka dia telah kafir.” Tanpa menyadari fakta diatas, orang-orang yang ngaku “Tidak Bermadzhab” melarang kita mempelajari kitab-kitab Imam Ahlussunnah RA dengan berkata, "Semua orang harus membaca Al-Qur'an dan hadits sendiri dan mempelajari keimanan mereka dari Al-Qur’an dan Hadits. Mereka seharusnya tidak mempelajari kitab-kitab madzhab." Faktanya, kerancuan mereka sudah sangat kelewat batas sampai-sampai menyebut ilmu yang terdapat dalm kitab-kitab para Ulama tersebut dengan “syirik dan kufur". Namun nyatanya, dengan berbuat seperti itu mereka telah menghalangi orang lain untuk mempelajari esensi Islam dan menyebabkan kerugian besar alih-alih membantu.


0 Response to "Islam dan Kristen: Nabi, Agama, dan Kitab Suci"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel