12 Kunci Sukses Belajar dan Mengajar (Fawaidul Makkiyah)
Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Alawi Ats-Tsaqaf Asy-Syafi’i Al-Makki (1255H-1335H)
Rahimahu Allah adalah seorang ulama besar abad ke-13 hijriyah yang
melahirkan banyak ulama besar, salah satunya adalah pendiri NU, Hadratus Syaikh
KH. Hasyim Asy’ari Rahimahu Allah (1287H-1366H). Beliau juga seorang
mushanif yang mengarang banyak kitab, salah satu kitabnya yang populer di
pesantren salafi di Indonesia adalah kitab Fawaidul Makkiyah. Kitab Fawaidul
Makkiyah sendiri berisi tentang penjelasan istilah-istilah yang digunakan dalam
madzhab syafi’iyah, sehingga tidaklah mengherankan jika kitab tersebut begitu populer
dikalangan Pesantren Salafi di Indonesia, mengingat mayoritas muslim di
Indonesia menganut madzhab Syafi’iyah.
Pada muqadimah Fawaidul Makkiyah, Al-Habib menjelaskan tentang keutamaan
ilmu, salah satunya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap penuntut ilmu
dan pengajar. Beliau menuliskan setidaknya ada 12 Sukses Belajar dan
Mengajar, yaitu:
1. Meluruskan niat
Niat adalah hal yang sangat penting dalam melakukan segala amal perbuatan,
karena niat akan mempengaruhi hasil dari apa yang kita kerjakan. Sebagaiman
hadits populer yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab RA yang
artinya (±): “Setiap amal perbuatan bergantung pada niatnya ...”
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim kita harus memastikan bahwa niat
kita sudah benar. Sehingga tujuan akhir belajar/mengajar adalah mengharap Ridha
Allah, bukan untuk mengumpulkan harta, wibawa, kekuasaan, ataupun hal lainnya
yang bersifat duniawi.
2. Memilih Ilmu yang Bermanfaat Cocok dengan
Kepribadian Kita
Ada banyak ilmu yang bisa kita pelajari, namun kita sebagai manusia
memiliki banyak keterbatasan. Sehingga, adalah sebuah keniscayaan untuk
mempelajari seluruh ilmu. Untuk itu, kita harus benar-benar mengetahui
ilmu-ilmu yang bermanfaat dan cocok dengan kepribadian kita agar tidak menyia-nyiakan
waktu yang miliki.
Sebuah bidang ilmu mungkin bermanfaat dan mudah dipelajari bagi orang lain,
namun tidak bagi kita. Hal tersebut tidak selalu berkaitan dengan tingkat
kecerdasan, karena banyak ditemuka orang-orang yang cerdas namun mengalami kesulitan
dalam mempelajari sebuah ilmu. Salah satu contohnya adalah kisah Al-Imam
An-Nawawi Rahimahu Allah. Sejarah
mencatat betapa gemilangnya kecerdasan Imam Nawawi, beliau mampu menghafal
ribuan hadits beserta sanadnya, fatwa-fatwa ulama, sehingga beliau telah
mencapai derajat mujtahid madzhab. Namun, beliau mengalami kesulitan
mempelajari ilmu kedokteran.
3. Mengetahui Level Akhir
Mengetahui level akhir sebuah ilmu membuat kita menyadari akan kapasitas
keilmuan kita, sehingga kita mampu bersikap dengan bijak. Dalam bidang Fiqih
misalnya, jika kita mengetahui syarat-syarat yang harus ada pada diri seorang
mufti yang mana tidak ada pada diri kita. Maka saat ada orang bertanya tentang
hukum suatu perkara yang bersifat dzanni, kita tidak akan menjawabnya dengan
pendapat kita namun dengan pendapat seorang mufti.
Di zaman sekarang banyak kita lihat ustadz-ustadz yang mengeluarkan
fatwa-fatwa aneh, sehingga membingungkan masyarakat awam. Menurut penulis, ada
dua kemungkinan yang membuat ustadz-ustadz aneh tersebut, yaitu:
- sombong;
-tidak mengetahui kriteria seorang mufti.
Mengetahui level akhir sebuah bidang ilmu juga bisa meningkatkan motivasi
kita dalam belajar. Seperti dalam perjalanan, perjalanan pulang terasa lebih
cepat karena kita telah mengetahui rute yang akan kita
4. Memahami Isi Ilmu dari A sampai Z secara
Tashawur (Konsep) dan Tashdiqi (Penerapan)
5. Memilih Buku yang Baik
Ungkapan al-ilmu filqulub la fil kutub (ilmu itu berada di dalam
hati, bukan didalam buku) memang benar adanya. Namun kita juga harus memahami
bahwa kita adalah manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan, sehingga
memilih buku yang baik untuk proses belajar/mengajar sangatlah penting. Buku
yang baik itu sangatlah relatif, sebuah buku mungkin sangat cocok si A namun
tidak untuk si B.
6. Memilih Guru yang Profesional
Guru adalah salah satu fator terpenting dalam ilmu karena Allah menciptakan
kita sebagai makhluk sosial, sehingga proses belajar/mengajar ilmu sangat
bergantung pada kulaitas seorang guru. Untuk itu seorang pelajar tidak boleh
mempelajari sebuah bidang ilmu dengan hanya mengandalkan kemampuan
kecerdasannya, atau dikenal dengan istilah otodidak. Jika memang keadaan kita
tidak memungkinkan kita belajar dengan seorang guru, maka boleh saja kita
belajar secara otodidak dengan catatan ilmu yang kita dapat tidak bisa jadi
pegangan, terlebih dalam bidang ilmu keagamaan.
Agar mendapatkan hasil maksimal, tentunya kita harus memilih seorang guru
yang profesional. Guru profesional adalah guru yang mampu membimbiming muridnya
dalam belajar dan mengamalkan ilmu yang telah dia dapat. Seseorang mungkin
profesional dalam satu bidang ilmu, namun tidak dalam bidang ilmu lainnya.
Salah satu guru profesional yang sulit ditemukan adalah guru dalam bidang
Tasawuf, yang sering dikenal dengan istilah Mursyid Kamil Mukammil. Kita banyak
mendapati kisah ulama-ulama besar yang belajar tasawuf dari orang-orang yang
terlihat hina menurut kaca mata sosial. Salah satu contohnya Hujjatul Islam
Al-Imam Ghazali, belajar tasawuf dari seorang tukang sol sepatu yang mana pada
saat itu Imam Gazali telah menjadi seorang Ushuli, Faqih, Filsuf, Theologian,
dan guru besar di Universitas An-Nidhamiyah.
7. Diskusi
Diskusi adalah proses bertukar pikiran antara dua orang atau lebih dalam
memahami suatu masalah. Diskusi bermanfaat dalam proses belajar/mengajar untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik karena adanya proses tukar pikiran,
sehingga tidak membuat kita memiliki pemahaman yang jumud, berbeda dengan debat.
Karena debat adalah proses berargumentasi untuk mempertahankan pendapat, sehingga
hanya akan membuat seseorang egois dan tertutup akan pemahaman-pemahaman orang
lain.
8. Jangan Menyembunyikan Ilmu
Watak ilmu sangatlah berbeda dengan watak harta. Harta jika dibagikan
tentunya akan berkurang, namun tidak dengan ilmu. Namun ada sisi persamaan
antara ilmu dan harta, yaitu keduanya wajib diberikan kepada mustahiqnya.
Jika harta halal dibagikan kepada mustahiqnya dengan cara zakat, maka ilmu
yang bermanfaat dibagikan dengan cara mengajarkannya. Keharaman menyembunyikan
ilmu yang bermanfaat dapat kita ketahui dari hadits Rasulullah SAW yang
terjemahannya (±): “Barang siapa memiliki ilmu yang bermanfaat,
kemudian ia menyembunyikannya, maka kelak Allah akan menggenggamnya dengan api
neraka”.
Adapun Ilmu yang tidak bermanfaat haram untuk dibagikan/diajarkan. Setidaknya
ada dua faktor yang menyebabkan ilmu tidak bermanfaat, yaitu:
- Ilmu yang secara dzatiyahnya haram atau tidak bermanfaat, seperti ilmu
sihir;
- Ilmu yang bermanfaat namun diajarkan kepada orang yang salah, seperti
mengajarkan ilmu kalam kepada orang yang belum pernah belajar masalah-masalah
Ushuluddin, ilmu Fiqih, dan ilmu mantiq.
9. Jangan Merasa Puas dengan Ilmu kita miliki
Baik seorang guru maupun pelajar tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa
ilmunya telah sampai pada puncak level tertinggi, sehingga tidak mungkin lagi
untuk bertambah lagi. Hal tersebut (selain sombong dan hoax) hanya akan
menghalanginya untuk menambah ilmu yang ia miliki.
10. Mengetahui Batasan Ilmu
Setiap ilmu memiliki batasan-batasan yang jika kita lewati akan berdampak
buruk bagi kita. Oleh karena itu, kita harus terlebih dahulu mengetahui batasan
ilmu agar kita tidak melewatinya dan membahayakan diri kita.
11. Fokus
Seorang pelajar dan guru tidak boleh mencampur adukan suatu bidang ilmu
dengan ilmu lainnya baik dalam proses belajar-mengajar, maupun diskusi. Karena hal
tersebut hanya akan merancukan pikiran kita, sehingga proses belajar-mengajar
dan diskusi menjadi tidak efektif. Hal itu tidak terlepas dari watak kita
sebagai makhluk yang maha terbatas. Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, yang oleh
Rasulullah SAW digelari Babul Ilmi (gerbangnya ilmu), pernah berkata “idzaa
kunta fii syai’in, fakun fiihi” artinya (±) “jika engkau sedang
menekuni sesuatu, maka fokuslah!”
12. Etika
Dalam tradisi akademik Islam, dikenal istilah ethic before knowledge
(etika dahulu, baru ilmu). Hal tersebut disebabkan karena betapa tingginya
derajat ilmu dalam Islam, sehingga etika harus ada dalam berbagai hal yang
berkaitan dalam ilmu. Etika adalah menjadi satu hal yang penting untuk
mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Oleh karenanya, banyak kitab-kitab yang
membahas tentang etika belajar, salah satunya adalah kitab Ta’limul Muta’allim
(Pelajaran untuk pelajar) yang menjadi standar etika belajar di kebanyakan
Pesantren salafi di Indonesia.
Etika atau adab sangatlah dijunjung tinggi dalam dunia Pesantren, hal itu
bisa kita lihat bagaiman cara seorang santri berkomunikasi dengan Kiai, baik
saat ia masih berstatus santri, maupun setelah ia menjadi orang besar. Makannya,
sangatlah jarang terdengar (saya sendiri belum pernah) berita seorang santri
mengajak kiai berkelahi. Tentu saja hal tersebut terasa kontras dengan suasana
sekolah, dimana kita banyak mendengar kasus-kasus seperti itu. Dan itu adalah
PR kita semua, mengingat sekolah adalah lembaga pendidikan yang lebih umum dan
lebih banyak banyak digandrungi daripada Pesantren. Mungkin sekolah bisa
belajar dari Pesantren bagaimana menerapkan etika kepada para siswanya!
WA ALLAHU A’LAMU BISH-SHAWAB!!!
Referensi:
- Fawaidul Makkiyah karya Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Alawi Ats-Tsaqaf Asy-Syafi’i
Al-Makki (1255H-1335H)
Catatan:
- Tulisan diatas adalah terjemahan penulis dan pemahaman penulis akan
paparan Habib Alawi Ats-Tsaqaf. Jadi jika ditemukan kesalahan atau tidak
setuju, silahkan berkomentar!
0 Response to "12 Kunci Sukses Belajar dan Mengajar (Fawaidul Makkiyah)"
Post a Comment