Jang Ahmad Vs Huru-hara Pilpres 2019
Tiga tahun lamanya Jang Ahmad keluar
dari Pesantren karena masalah keluarga yang mengharuskannya gantung
sarung untuk sementara. Baginya, ketiga tahun itu terasa sangat menyakitkan
karena ke-madesu-an yang jelas menimpanya. Bagaimana tidak, dia melewati tiga
tahun tersebut dengan ngopi, browsing, makan, tidur, dan diceramahi orang
tuanya yang tidak tega anaknya menjadi seorang yang madesu.
Akhirnya setelah tiga tahu, dia
mengakhiri masa gantung sarungnya dan kembali berstatus sebagai seorang
shinobi, eh santri, dengan cara ngaji pasaran di beberapa Kiai. Pasaran
sendiri artinya pengajian kilat yang diadakan di waktu-waktu tertentu. Istilah pasaran
bisa juga disebut Pesantren Kilat, hanya saja waktunya tidak melulu bulan
Ramadhan.
Namun, itu belum membuatnya
menjadi seorang shinobi sejati, kenapa? Karena pada saat itu, dia belum menetap
di sebuah Pesantren. Jika kita ibaratkan, status Jang Ahmad pada waktu itu seperti
Rounin, samurai tak bertuan. Dan begitu juga Jang Ahmad, santri tak ber-kiai. Bukan
berarti dia menafikan guru-guru dia, tapi memang status tidak terdaftar di
sebuah Pesantren membuat dia tidak terikat dengan "tanggung jawab formal" seorang Kiai.
Waktu keberangkatan pun tiba, akhirnya status untuk menjadi santri mutlak tercapai, Pesantren
yang dia tuju berjarak 223 km dari rumah orang tuanya. Di malam keberangkatan,
dia pun menangis meminta maaf kepada bapak ibunya tercinta atas segala
ke-madesu-an yang dia suguhkan kepada mereka, terutama di masa tiga tahun
gantung sarung. Tangisan tersebut bukanlah tangisan biasa, namun sebuah
tangisan alami tanpa di jadi-jadi. Tangisan itu bagaikan Naruto yang bertemu
kedua orang tuanya di alam gaib saat beliau (Naruto) tak bisa mengendalikan si
bebel Kyubi yang terus menghasut beliau yang kewalahan menghadapi jurus Chibaku
tensei-nya Kang Nagato aka Pain.
Belum genap tiga bulan, jagat maya (bukan Estianti) dihebohkan dengan fitnah terhadap guru dia tercinta. Masalahnya sepele,
gara-gara beda pilihan capres. Kalau yang fitnah orang berlatar belakang
Non-Pesantren dia masih maklumi (walaupun tetep kurang dihajar), ini yang
fitnah seorang yang di-ustazkan, yang ngaji keislaman ke negeri sebrang,
simpatisan ormas yang keukeuh ngaku paling islam. Padahal gurunya sendiri murid
dari guru dia yang ia fitnah. Gimana coba? Kan teeeeeeeet (Maaf tak lulus
sensor). Layaknya seorang murid pada umumnya, Jang Ahmad pun tersulut emosinya, merasa terpanggil untuk
berjilbab berjihad di jalan cendana untuk membungkam sang ngustaz yang kurang azab (mungkin karena kurang nonton ftv Indohsial).
Kemudian dia persiapkan
peralatan perang. Mulai dari menyeduh kopi hitam, membeli paket malam dan rokok
gudang garam. Smartphone sudah terisi penuh, yang dia perlukan hanya memposting
'dalil' yang telah dia makan dengan lahap. Tiba-tiba sarung yang digantung jatuh
menimpa kopi hitam yang telah siap tuk dijadikan senjata perang. Air kopi jatuh
membasahi rokok gudang garam yang hanya 3 batang, memadamkan bara korek api yang
akan segera bekobar.
Sarung yang menjadi identitas santri, seolah berubah menjadi sebuah cakra dan seolah berkata: "Mau apa to, lek? Kamu mau nyerang tuh
orang juga gak bakalan ada manfaatnya. Yang ada malah ribut berdebat kusir
dengan pengikutnya. Dia nyalakan api, kamu siram bensin. Yak kebakaran jadinya.
Kamu itu baru jadi santri, belum jadi pewaris nabi yang punya air untuk
padamkan api. Lagian pagi-pagi kan kamu harus ngaji, kalau kurang tidur, kamu gak akan fokus ngaji nanti. Cepet tidur! Jangan lupa gosok gigi, kan tadi abis makan terasi!
Jangan lupa berdoa dulu sama Tuhan Yang Maha Suci, dan baca shalawat untuk
Kanjeng Nabi!"
Kemudian bekas kopi
dia bersihkan, berharap hatinya yang kotor juga Tuhan bersihkan. Melakukan
apa yang sarung itu nasihatkan, untuk tidak ikut menggemborkan api yang sedang berkobar, sehingga bangsa ini tidak hancur terbakar.
0 Response to "Jang Ahmad Vs Huru-hara Pilpres 2019"
Post a Comment