Stop Suisisasi Ulama!!!
Pilpres 2014 memang memiliki efek berkepanjangan bagi masyarakat Indonesia. Hampir lima tahun peristiwa itu berlalu, namun dampaknya masih dapat kita rasakan sampai sekarang menjelang Pilpres 2019. Itu bisa kita lihat di media televisi, surat kabar, apalagi media sosial digital yang banyak penggunanya memilih menggunakan akun jadi-jadian (anonymous, red).
Caci maki, saling hina, saling fitnah, (apa lagi ghibah) sudah menjadi pemandangan biasa diantara kubu. Sialnya, kemerosotan berpolitik tersebut dibalut dengan kain agama nan suci. Tak jarang Tuhan Yang Maha Kuasa, dijadikan juru kampanye yang jelas-jelas untuk makhluk tak berdaya yang ingin memperoleh kuasa di dunia. Kan Tafir tuh orang!
Jika dulu money politic mengambil peran besar dalam kampanye hitam, sekarang keberadaanya telah tergantikan dengan Agamaisasi Politk. Segala perangkat agama dikerahkan oleh para politikus (yang lebih hina dari tikus) tersebut untuk memperoleh simpati dari masyarakat yang kebanyakan memang beragama. Salah satu agama yang menjadi korban para politikus nan durjana tersebut adalah agama Islam. Alasannya dapat dimengerti, karena Islam adalah agama terfavorit untuk ditulis di KTP mayoritas masyarakat Indonesia, sehingga menjadi lahan subur untuk bercocok kekuasaan. Istilah-istilah keislaman pun jadi marak terdengar keluar dari simpatisan politikus-politikus nan durjana tersebut, entah itu simpatisan bookingan yang memang cari makan, ataupun simpatisan bispak gratisan yang mabuk agama dan memang kurang piknik di dunia ilmu keislaman.
Kampanye pun jadi terlihat seperti pengajian. Mending kalau pengajiannya bener, lah Ini isinya hanya caci maki, fitnah, ghibah yang diberi dalih Kalam Ilahi dan Nabi. Jika seharusnya kampanye berisi visi dan misi, sekarang berubah menjadi seperti kitab-kitab fatwa para Mufti yang isinya tentang halal dan haram. Klaim-klaim fatwa seperti 'Inilah satu-satunya pemimpin yang halal dipilih oleh umat Islam, haram pilih yang lain!" sangat sering terdengar baik itu di forum pengajian yang diperuntukkan sebagai sarana mengenal Tuhan, ataupun di forum sosial media yang sejatinya diperuntukkan sebagai sarana bersilaturahmi dan menambah informasi. Fatwa yang sebenarnya tugas mufti, digaungkan oleh orang-orang yang gak jelas asal-usul ilmunya hanya untuk kepentingan sesaat. Parahnya lagi, kampanye hitam tersebut juga merambat ke masalah Aqidah, masalah yang sejatinya adalah hak Tuhan. Label seperti fasik, munafik, kafir kepada orang yang beda pilihan politik sangat santer didengar.
Ulama sendiri menjadi nilai jual politik yang menggiurkan bagi para politikus-politikus durjana, mengingat betapa vitalnya peran ulama dalam agama Islam. Bagaimana tidak? Ulama menyandang gelar pewaris para Nabi, sementara Nabi sendiri seorang utasan Tuhan Yang Maha Suci.
Jargon-jargon Ulama pun banyak digaungkan untuk mengambil hati masyarakat, atau menyerang kubu lawan. Istilah Ulama, yang dalam bahasa Arab berarti orang yang ilmunya banyak, menjadi tak karuan disematkan. Saking gilanya, orang seperti Sugi Nur Raharjo (aka Gus Nur) saja memiliki label Ulama. Gimana, gila kan?
Dalam syariat Islam, Ulama sendiri adalah sebuah gelar yang disematkan untuk seseorang yang berilmu dan memiliki akhlak terpuji tingkat tinggi (ingat tingkat tinggi, bukan tingkat dewa, biar kamu tidak musyrik), dan wara. Kalau menurut al-marhum al-magfur lah Syaikhuna KH. Saifuddin Zuhri Haurkuning, Ulama adalah orang yang ilmunya banyak dan hatinya selalu merasa takut kepada Allah. Gampangnya, orang berilmu agama tinggi yang mengamalkan ilmunya.
Nabi dibawah bimbingan Ilahi telah memprediksi bahwa akan ada orang yang ahli ilmu agama namun tidak mengamalkannya, sehingga mengklasifikasi Ulama menjadi dua, yaitu Ulama Al-Amilin dan Ulama Al-Syu'i, dan memberitahukan ciri-ciri keduanya. Klasifikasi tersebut bukan agar manusia menjustifikasi siapakah Ulama yang GOBLOK, namun sebagai petunjuk bagi manusia agar tidak tersesat mengikuti orang yang kelihatannya agamis, tapi aslinya satanis. Ulama syu sendiri berarti seorang yang luarnya seperti Ulama, namun dengan niat untuk mencari keuntungan dunia.
Masalah muncul ketika kedua kubu memiliki pendukung yang di-ulama-kan. Klaim Ulama Syu pun berterbangan (layaknya shuriken seorang seorang ninja) kepada Ulama di kubu lawan. Jika ada tokoh agama Islam dikubu sendiri langsung di-ulama-kan, bahkan di-nabi-kan yang segala perbuatannya pasti benar, karena telah di acc oleh Tuhan. Giliran tokoh agama Islam yang kubunya bersebrangan langsung dicap Ulama Syu, yang berarti Ulama yang ilmunya akan menjebloskan dirinya ke Neraka. Sementara manusia tidak mempunyai otoritas mennghukumi Ulama Syu dan Al-Amilin, karena hal itu berkaitan dengan niat yang terdapat di dalam hati, dan hanya Tuhan Yang mengetahuinya, sehingga secara otomatis wewenang tersebut secara mutlak milik Tuhan.
Jika sebelum pilpres dulu, kubu oposisi berkoar-koar, "Stop kriminalisasi Ulama!", dan kubu petahana berkoar-koar "Stop Ulamaisasi Kriminal!"
Maka, saya sebagai seorang Muslim Indonesia yang ngaku netral mengajak, "STOP SUISISASI ULAMA!"
Salam....,!
0 Response to "Stop Suisisasi Ulama!!!"
Post a Comment