Mengintip Sisi Liberal Pesantren Salafi/Tradisional

Latar Belakang

Pesantren merupakan salah satu jenis lembaga pendidikan tertua di Indonesia, dan juga merupakan tempat "kelahiran" tokoh-tokoh berpengaruh di Indonesia. Tokoh-tokoh jebolan Pesantren tidak hanya  berkecimbung di dunia keagamaan saja, namun banyak juga di bidang-bidang yang lainnya. Di dunia politik misalnya, kita dapat menemukan politisi-politisi dan negarawan jebolan Pesantren dari jaman penjajahan (seperti Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Wahab Hasbullah, dll.) sampai jaman sekarang (seperti Kiai Ma'ruf Amin,  Prof. Mahfud MD, Tuan Guru Bajang, dll.). Membahas Pesantren tentu merupakan salah satu hal yang menarik dan penting bagi bangsa Indonesia, mengingat betapa besar peran dan pengaruh pesantren di Indonesia.

Mengingat Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, banyak masyarakatat mengira bahwa Pesantren sangat anti atau bertolakbelakang dengan liberalisme. Hal itu tidak terlepas dari penggunaan kata liberal yang sering digunakan untuk mendeskripsikan sebuah ideologi dan gerakan politik tertentu. Sementara ideologi dan gerakan politik tersebut memiliki konsep sekularisme yang oleh politis-politisi Barat dideskripsikan dengan "building a wall between Church and state" yang berarti membangun tembok pemisah antara Gereja dan Negara, bahasa gampangnya "Sama sekali tak ada tempat bagi agama didalam Pemerintahan". Tentu hal tersebut bertentangan dengan agama-agama Abrahamik (yang mana Islam termasuk kedalam kategori tersebut) pada khususnya, sehingga meninggalkan kesan bahwa kata liberal sangatlah bertentangan dengan Islam. Sementara Pesantren sendiri merupakan sebuah lembaga pendidikan yang paling memberikan perhatian terhadap ilmu-ilmu agama Islam di Indonesia, maka hal-hal yang bertentangan dengan Islam akan secara otomatis bertentangan dengan Pesantren.

Rumusan Masalah

Anggapan bahwa Pesantren bertentangan dengan liberalisme adalah sesuatu yang sudah menjadi mainstream di Indonesia, baik itu dari kalangan Pesantren sendiri, maupun pihak-pihak yang mengaku sebagai "liberalis". Hal tersebut (menurut penulis) merupakan sesuatu yang keliru. Kenapa? Karena memang pada faktanya liberalisme dan Islam bukanlah dua hal yang paradoks. Bagaimana bisa? Itulah yang akan dibahas di dalam tulisan ini. Namun sebelumnya, penulis akan membahas terlebih dahulu istilah liberal dan Pesantren Tradisional. Karena itulah yang akan dibahas disini, dan akan lebih baik jika kita membatasi masalah-masalahnya terlebih dahulu agar tidak menjadi bias.

I. Liberal

A. Pengertian Liberal

Secara etimologi, kata liberal merupakan sebuah kata sifat dari bahasa Perancis tua yang diambil dari bahasa latin "liberalis" yang memiliki arti "menyesesuaikan, menyerasikan, menyamai orang yang merdeka", diambil dari kata liber yang berarti "bebas/merdeka".

B. Sekilas tentang Liberalisme

Dalam penggunaannya, kata liberal sering digabung dengan kata lain dan difungsikan sebagai kata sifat. Itulah mengapa, kita akan menemui istilah liberal dalam banyak bidang. Dalam bidang politik misalnya, kia mendapati sebuah gerakan politik yang yang menamai gerakannya sebagai gerakan politik liberal. Mereka mendeskripsikan gerakannya tersebut sebagai sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Dalam bidang agama, di Indonesia ada sebuah organisasi Islam yang bernama Jaringan Islam Liberal (JIL).

II. Pesantren

A. Pengertian Pesantren

Secara etimologi, kata Pesantren berasal dari kata "santri" yang ditambah imbuhan awal pe- dan imbuhan akhir "-an", memiliki arti tempat yang dibangun untuk tempat tinggal dan belajar santri.

Adapun asal-usul kata santri, penulis belum dapat menemukan sumber terpercaya mengenai asal-usul kata tersebut. Zamakhsari Dhofier menduga genealogi istilah Pondok ( Pondok Pesantren) berasal dari kata funduq yang dalam bahasa Arab berarti "asrama". Dhofier mengutip pendapat beberapa ahli sejarah, semisal Profesor Johns yang menyebutkan kata santri berasal dari bahasa Tamil dengan arti "guru". Tak jauh beda dengannya, CC Berg berpendapat bahwa santri berasal dari kata shastri atau cantrik dalam bahasa Sanskerta yang berarti ‘orang yang mengetahui isi kitab suci’ atau ‘orang yang selalu mengikuti guru'. Menurut Penulis, pendapat Berg adalah pendapat yang paling mendekati istilah santri jika melihat fungsi dari Pesantren, mengingat Pesantren adalah lembaga pendidikan yang bertujuan untuk mendidik santri agar dapat memahami kitab suci Al-Quran, dan dalam etika di Pesantren (juga dalam Islam) ketaatan dan hormat kepada guru adalah merupakan sebuah kewajiban bagi murid yang ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Secara terminologi, Pesantren memiliki definisi "Tempat tinggal dan belajar santri untuk mempelajari agama Islam." Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah Pesantren setidaknya harus memiliki empat unsur, yaitu: Kiai, Santri, Pondok (sebagai tempat tinggal dan belajar), dan pengajian.

B. Klasifikasi Pesantren

Di zaman sekarang, masyarakat Indonesia mengenal Pesantren terbagi menjadi dua jenis, yaitu  Pesantren Salafi (disebut juga Salafiah dan Tradisional) dan Pesantren Modern. Tidak ada definisi baku untuk keduga Pesantren tersebut, jadi penulis akan mendefinisikan terlebih dahulu keduanya sesuai pengamatan penulis akan penggunaannya yang paling umum digunakan di masyarakat. Berikut sekilas tentang definisi kedua jenis Pesantren tersebut!

1. Pesantren Salafi/Salafiyah (Tradisional)

a. Etimologi

Kata Salaf berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa arti, diantaranya:
- Salaf yang memiliki bentuk jamak "suluf" memiliki arti kulit yang belum disamak atau kulit yang samakannya belum syah. Salaf dengan bentuk jamak ini juga bisa berarti wadah yang besar.
- Salaf yang memiliki bentuk jamak "aslaaf" memiliki arti orang-orang yang terdahulu, baik itu ayah, kakek, ataupun nenek moyang.
Adapun istilah salaf shaleh diambil dari makna salaf yang kedua, yaitu orang-orang yang terdahulu. Begitupun istilah yang digunakan dalam pesantren salaf.

b. Terminologi

Istilah Pesantren Salaf muncul pada zaman baru-baru ini. Hal tersebut tidak terlepas dari munculnya pesantren-pesantren yang telah meninggalkan tradisi asal pesantren. Tradisi yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar di Pesantren terdahulu/yang asli. Yang mana di dalam sistem pembelajarannya menggunakan kitab klasik/kitab kuning (kitab berbahasa arab tanpa syakal, yang biasanya menerapkan sistem penulisan Matan, Hasiyah, dan Syarh) sebagai kurikulum pendidikan. Pesantren terdahulu juga tidak menggunakan formalitas kenegaraan dalam meluluskan santri-santrinya, namun bukan berarti tidak mengenal istilah ijazah. Sistem Ijazah sendiri diberlakukan dalam pesantren terdahulu, bahkan kata ijazah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "mengijinkan/membolehkan", dan bisa dikatakan ijazah menjadi istilah di dunia pendidikan formal Indonesia melalui pesantren, yang mana pesantren mengenal istilah tersebut tak terlepas dari dunia akademik Islam yang kental akan penggunaan bahasa Arabnya.

Jadi bisa disimpulkan Pesantren Salafi adalah Pesantren yang menjaga tradisi asli pesantren dalam  kegiatan belajar-mengajar sebagai acuan pembelajaran, serta tidak menggunakan formalisasi kenegaraan dalam meluluskan santri-santrinya. Oleh karena itu, Pesantren Salafi sering juga disebut Pesantren tradisional. Biasanya, meluluskan seorang santri di Pesantren Salafi tidak terikat dengan jangka waktu atau tingkatan kelas tertentu seperti di lembaga pendidikan formal, namun bergantung pada ijin sang Kiai.

Ada juga yang mendefinisikan Pesantren Salafi sebagai berikut: "Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman saja kepada santri-santrinya, atau bisa juga mengajarkannya namun hanya dalam porsi yang sedikit." Namun penulis tidak sependapat dengan definisi tersebut. Kenapa? Karena pada faktanya, Pesantren-pesantren yang disebut sebagai salafi tersebut mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum/non-islam dengan porsi yang sangat besar. Seperti ilmu bahasa, sastra, logika, astronomi klasik, bahkan ada yang mengajarkan astrologi klasik dengan pembelajaran yang sangat mendalam.

Jadi, penulis tidak setuju dengan definisi tersebut dan akan tetap mendefinisikan Pesantren Salafi dengan definisi diatas, yaitu Pesantren yang menjaga tradisi asli pesantren dalam  kegiatan belajar-mengajar sebagai acuan pembelajaran serta tidak menggunakan formalisasi kenegaraan dalam meluluskan santri-santrinya.

2. Pesantren Modern

a. Etimolgi

Dalam bahasa Indonesia kata modern diserap dari bahasa Inggris dengan penulisan yang sama namun pengucapan yang berbeda. Kata modern sendiri dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Perancis pertengahan, yaitu dari kata moderne. Kata moderne diambil dari bahasa Late Latin, yaitu modernus yang berasal dari bahasa Latin "modo", yang berarti sekarang, baru, atau saat ini.

b. Terminologi

Kata modern dalam KBBI edisi 5 memiliki dua arti, yaitu:
- kata sifat yang bermakna terbaru atau mutakhir.
- kata benda yabg bermakna sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.
Apabila melihat struktur kata dalam istilah Pesantren Modern, kata modern tersebut berfungsi sebagai kata sifat dari kata benda Pesantren. Jadi dapat disimpulkan bahwa makna yang terkandung dalsm istilah tersebut adalah makna yang pertama, yaitu terbaru. Maka arti dari Pesantren Modern sendiri adalah Pesantren Terbaru.

Ada yang mendefinisikan Pesantren Modern dengan definisi "Pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum/non-Islam dengan porsi yang besar atau seimbang dengan ilmu-ilmu keislaman." Penulis merasa definisi tersebut kurang tepat. Kenapa? Pertama, hal tersebut tidak berkaitan dengan kata modern yang digunakan dalam istilah tersebut. Karena, akan memberikan kesan bahwa pelajaran di Pesantren yang terdahulu/asli tidak mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan non-islami, sementara telah penulis paparkan diatas bahwa hal tersebut (menurut penulis) merupakan sebuah kekeliruan.

Ada juga yang mendefinisikan Pesantren Modern sebagai Pesantren yang memiliki lembaga pendidikan formal, atau bisa dikatakan "Pesantren ada sekolahnya". Penulis juga kurang setuju dengan istilah tersebut. Kenapa? Karena di Pesantren terdahulu juga tidak ada larangan untuk belajar di luar Pesantren. Walaupun tidak ada formalitas di dalam sistem pendidikan Pesantren, bukan berarti sistem tersebut melarang santri untuk belajar diluar Pesantren selama santri tersebut mengikuti kegiatan dan peraturan yang ada di Pesantren.

Pada faktanya, Pesantren Modern sering dinisbatkan untuk Pesantren-pesantren yang mengadopsi sistem sekolah (yang dikenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda) degan konsep klasifikasi, dan dalam pembelajarannya menggunakan kurikulum yang menitik beratkan penguasaan masalah tertentu (sesuai kelasnya) bukan penguasaan pada kitab-kitab muktabarah. Biasanya Pesantren-pesantren jenis ini memiliki kitab-kitab sendiri yang ditulis dengan bahasa yang mudah untuk dapat membantu para santri menguasai pelajaran yang telah ditentukan menurut kelasnya. Karena sistem klasifikasi yang telah ditentukan, maka Pesantren Modern biasanya sangat administratif (entah itu nilai santri ataupun keuangan) dan waktu kelulusannya pun jelas. Biasanya, sebuah Pesantren modern juga memiliki acara wisuda layaknya sekolah dan perguruan tinggi.

Walaupun penulis tidak menerima definisi-definisi diatas, bukan berarti penulis mampu mendefinisikan Pesantren Modern. Namun penulis akan memberi menjelaskan Pesantren dengan pengertian (bukan definisi) "Pesantren yang bukan Pesantren salaf." Hal tersebut (memahami sesuatu "Pesantren Modern" dari satu yang lain "Pesantren Salaf"), tidak dapat dikatan sebuah definisi dalam ilmu mantiq/logika, namun bisa dikatakan merupakan sebuah pengertian/signification, yang didalam bahada Arab disebut dengan Dilalah, tepatnya dilalah lafdziyah aqliyah. Penulis rasa, pengertian sangatlah tepat. Mengingat istilah Pesantren Modern sendiri tercipta untuk menjadi pembeda dengan Pesantren yang original (yang sekarang disebut Pesantren Salafi) yang telah terlebih dahulu eksis.

Sangatlah menarik jika kita sedikit mengamati penggunaan istilah kedua jenis Pesantren tersebut, karena dapat dirasakan "stereotype" term dari keduanya, yaitu salaf dan modern.
Dalam Pesantren jenis pertama misalnya, meskipun memiliki dua istilah yang digunakan di masyarakat, yaitu Salafi dan tradisional, namun istilah Pesantren Salafi lebih sering digunakan daripada istilah Pesantren Tradisional. Mungkin hal tersebut dikarenakan kata salafi berasal dari bahasa Arab, yang mana istilah-istilah dari bahasa Arab sendiri terkesan lebih "islami" bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia, sehingga kesan konservatifnya lebih dapat dibandingkan dengan istilah tradisional yang diserap dari bahasa Inggris (yang cenderung terkesan modern, karena menjadi bahasa internasional)
Penggunaan istilah dalam Pesantren jenis kedua juga tak jauh beda, kesan "stereotype" term-nya sangat bisa dirasakan. Jika Pesantren jenis pertama disebut dengan menggunakan istilah bahasa Arab untuk menggambarkan karakteristiknya, maka Pesantren jenis kedua ini lebih banyak disebut menggunakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu modern. Hal itu tentunya tidak terlepas dari stereotype yang tersebar di masyarakat Indonesia (bahkan boleh dikatakan di seluruh dunia) bahwa bahasa Inggris adalah bahasa kemajuan, modernitas, dan simbol peradaban modern yang lahir di Eropa. Maka, kata Modern lebih disukai banyak orang daripada kata "ashriyah" ataupun kata khalaf yang menjadi lawan kata Salaf di dalam bahasa aslinya (Arab). Berbeda dengan Pesantren jenis pertama yang masih menggunakan kedua istilah (Salafi-Tradisional) dari bahasa Inggris dan Arab, Pesantren jenis kedua lebih satu komando dalam penyebutannya, yaitu dengan Istilah Modern. Penulis sendiri belum pernah mendengar istilah Pesantren Khalaf atau Ashriyah di dalam bahasa Indonesia untuk merujuk Pesantren Modern.

Pembatasan Masalah

Karena Pesantren diklasifikasi menjadi dua, tentu kita juga akan mendapatkan dua sudut pandang umum mengenai Pesantren dan Liberalisme. Kebanyakan masyarakat Indonesia menilai Pesantren Modern lebih bisa menerima Liberalisme daripada Pesantren Salafi, karena menilai dari penamaan keduanya. Dimana istilah modern lebih "cocok" dengan liberalisme, mengingat istilah liberal dan turunan katanya lebih banyak digaungkan di zaman sekarang, zaman modern. Sementara istilah Salafi/Tradisional cenderung bertabrakan dengan liberalisme (yang dianggap sebagai representasi modernitas), karena terlihat lebih konservatif. Oleh karena itu, Pembahasan dalam tulisan ini adalah hubungan Liberalisme dengan Pesantren Salafi (bukan Pesantren Modern). Itulah mengapa penulis memberi judul tulisan ini dengan judul "Mengintip Sisi Liberal Pesantren Salafi/Tradisional"

Pembahasan

Untuk mengetahui sebuah ideologi (entah itu didalam Agama, Politik, Ekonomi, dan yang lainnya) Tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu nilai-nilainya yang tergantung didalam ideologi tersebut serta menganalisa konsep berfikirnya (karena sebuah idea tidak akan terlepas dari yang namanya akal), baru kita akan mendapati sumber ideologi tersebut. Liberalisme sendiri biasanya diartikan sebagai gerakan "kebebasan", kebebasan sendiri pada dasarnya bisa menjadi kata yang positif, maupun negatif. Di zaman dahulu misalnya, "berpikir bebas" bukan berarti  berfikir dengan meninggalkan agama, namun berarti berpikir yang benar sesuai dengan aturan-aturan dalam logika. Makannya kebanyakan para pemikir-pemikir dan filsuf-filsuf di zaman dahulu adalah orang-orang yang beragama. Penulis menilai setiap Ideologi yang bertemakan Liberalisme dari berbagai bidang (seperti agama, politik, ekonomi, dll.) mengusung satu nilai yang sama, yaitu kebebasan (terlepas bagaimana kelompok yang mengklaim sebagi liberalis tersebut mengartikan kebebasan). Adapun dalam konsep berpikirnya mengusung konsep berpikir bebas.

Seni berpikir bebas sendiri bukan berarti berpikir "seenak udelmu", namun ada aturan mainnya. Di abad pertengahan, orang-orang Eropa mulai "menyukai" satu bidang ilmu yang sudah jauh terlebih dahulu dikenal di peradaban Islam. Ilmu tersebut dinilai membantu orang-orang yang mempelajarinya menjadi seorang yang "mereka/bebas" dalam arti tidak menjadi budak secara intelektual. Sebagai mana telah diketahui, kebanyakan kerajaan di Eropa selalu mendoktrin rakyatnya dengan berbagai hiburan-hiburan dan dongeng-dongeng mitologi, sehingga rakyat memilik pikiran yang tidak bebas atau bahasa gampangnya pikirannya diperbudak/dicuci otak. Karena kedatangan ilmu tersebut adalah sebuah "pembebasan" bagi orang-orang yang menguasainya (mengingat manusia selalu terikat dengan doktrin dimasa masa pertumbuhannya, sehingga kebanyakan mudah untuk dicuci otaknya dan diperbudak secara intelektual), maka orang-orang Eropa menamai ilmu tersebut Liberal Arts, yang dapat diartikan seni berpikir bebas (bebas dalam arti 'tidak terikat", bukan bebas yang berarti "tak terbatas").

Liberal Arts dapat dikatakan sebagai program pendidikan kelas atas paling tua didalam sejarah pendidikan barat. Liberal Arts dikatakan sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh seseorang yang merdeka.
Liberal Arts terbagi menjadi dua level. Level pertama adalah level dasar yang harus dikuasai oleh seorang liberalis. Di level ini, seorang murid mempelajari Grammar, Retorika, dan Logika. Ketiga bidang ilmu tersebut didalam dunia Liberal Arts disebut dengan Trivium (artinya tiga jalan yang saling terhubung). Level kedua tidak terlalu menjadi syarat bagi seseorang orang menjadi seorang liberalis. Di level ini, seorang murid mempelajafi empat bidang ilmu, yaitu aritmatika, geometri, teori musik, dan astronomi (namun terkadang diganti dengan astrologi). Keempat bidang ilmu tersebut disebut quadrivium (empat jalan yang saling terhubung).

I. Pesantren Salafi dan Trivium

Mengingat Trivium sebagai syarat mutlak bagi seseorang untuk menjadi seorang liberalis didalam  Liberal Arts, tentu seorang yang tahu bagaimana perhatian Pesantren Salafi terhadap ketiga bidang ilmu yang terdapat dalam Trivium akan mengetahui bahwa anggapan Pesantren Salafi bertolakbelakang dengan liberalisme adalah tidak benar. Karena didalam dunia pendidikan Pesantren Salafi, ketiga ilmu tersebut merupakan "makanan" pertama bagi seorang Santri Salafi sebelum mempelajari ilmu-ilmu agama Islam secara mendalam. Anggapan tidak benar tersebut tersebar luas karena tidak adanya komparasi istilah-istilah yang digunakan di dunia pendidikan Pesantren (yang menggunakan istilah-istilah berbahasa Arab) dan dunia pendidikan formal (yang notabenenya sering menyerap istilah-istilah dari bahasa Inggris).

A. Pesantren Salafi dan Grammar

Grammar merupakan sebuah bidang ilmu yang mempelajari tata bahas. Di Indonesia sendiri, istilah Grammar lebih sering terdengar daripada tata bahasa ketika merujuk ilmu tersebut. Di Pesantren, ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu agama Islam. Sementara dua sumber utama agama Islam (yaitu Al-Quran dan Al-Hadits) berbahasa Arab, maka secara otomatis dan logis ilmu tata bahasa yang perlu dipelajari adalah ilmu tata bahasa Arab. Ilmu tata bahasa dalam bahasa Arab terdiri dari dua cabang ilmu, yaitu ilmu Nahwu dan Sharaf.

Perhatian Pesantren terhadap kedua bidang ilmu ini tidak perlu diragukan lagi, mengingat kedua ilmu tersebut dipejari lebih mendalam di Pesantren daripada di lembaga pendidikan formal (sekolah dan perguruan tinggi). Ilmu Nahwu misalnya, seorang santri biasanya dalam jangka waktu tiga harus menghafal dan memahami dua kitab Nahwu, yaitu Al-Jurumiah dan Al-Fiyah ibnu Malik. Pelajaran tersebut, biasanya dipelajari di tiga tahun pertam seorang santri. Dalam mempelajari ilmu sharaf, biasanya Pesantren menekankan penguasaan dalam mengenali bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab melalui kitab muktabarah seperti Sharaf Al-Kailani, Nadzm Al-Maqsud, dan Al-Fiyah Ibnu Malik (Alfiyah ibnu Malik berisi sekitar 900 bait pembahasan ilmu Nahwu dan 100 bait pembahasan ilmu Sharaf). Pelajaran tersebut juga dipelajari di tiga tahun pertama di Pesantren.

B. Pesantren Salafi dan Retorika

Retorika merupakan sebuah bidang ilmu yang mempelajari tentang tata cara menggunakan bahasa secara efektif. Di dalam bahasa Arab, ilmu tersebut disebut dengan ilmu Balagah. Ilmu Balagah memiliki tiga cabang ilmu, yaitu ilmu Ma'ani, Bayan, dan Badi'. Kitab muktabarah ilmu Balagah yang sering digunakan di Pesantren Salafi sebagai acuan pembelajaran adalah kitab Al-Jauhar Al-Maknun dan Uqudul Juman. Al-Jauhar Al-Maknun biasanya dipelajari dan dihafal setelah seorang santri telah menyelesaikan (minimal satu kali) kajian kitab Al-Fiyah ibnu Malik. Sementara Uqudul Juman diperuntukkan bagi santri yang telah selesai mempelajari Al-Jauhar Al-Maknun.

C. Pesantren Salafi dan Logika

Logika merupakan satu bidang ilmu yang mempelajari tentang tata cara berpikir yang benar secara rasional. Logika sendiri pertama kalu dipelajari sebagai suatu bidang ilmu di Yunani oleh para filsuf-filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pada awal masa Kerajaan Romawi  menjadikan Kristen sebagai agama resmi kerajaan, ilmu logika menjadi ilmu yang terlarang karena dianggap akan meruntuhkan konsep teologi Trinitas. Pada masa setelah itu, ilmu logika hampir punah, sampai pada masa kemunculan dinasti Abbasiyah yang santer menerjemahkan teks-teks ilmu peninggalan bangsa Yunani kedalam bahasa Arab dan memperkenalkannya kembali ke bangsa Eropa.

Dari sejarah singkat ilmu logik diatas, dapat ditebak bahwa ilmu logika bukanlah hal yang asing dikalangan Pesantren Salafi. Dalam bahasa Arab, logika dikenal dengan istilah Mantiq. Di Pesantren Salafi sendiri, kitab yang sering dijadikan acuan pembelajaran ilmu Mantiq adalah kitab Sulam Munwraq dan Syamsiyah. Biasanya, keduanya dipelajari pada tahun yang sama dengan kitab Al-Jauhar Al-Maknun atau Uqudul Juman. Kebanyakan Pesantren Salafi masih sering mewajibkan santri-santrinya untuk hafal kitab Sulam Munawraq sebelum mengikuti kelas kajian kitab tersebut.

Walaupun Pesantren Salafi memiliki perhatian yang besar pada logika/mantiq, bukan berarti pandangan-pandangan keislaman dan metodologi Pesantren Salafi seperti Muktazilah. Pesantren Salafi tidak menempatkan akal sebagai salah satu alat memahami sumber keislaman (Al-Quran dan Sunnah Nabi), bukan sebagai sumbernya (sebagaimana Ahlu Sunnah Wal Jama'ah). Hal tersebut dapat dilihat dari cara Pesantren Salafi mengkategorikan Ilmu Mantiq (juga Ilmu Nahwu, Sharaf, dan balagah) kedalam kategori ilmu Alat, bukan kedalam kategori ilmu Furu'uddin apalagi kategiri Ushuluddin.

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa Pesantren Salafi memiliki sisi Liberalnya, bahkan terbilang sangat kental sisi Liberalnya jika mengacu pada standar Liberal Arts. Banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut karena disinformasi. Baik itu dipengaruhi karen pandangan mainstream yang cenderung stereotype, sehingga menggiring masyarakat awam pada perspektif yang keliru dan hanya melihat sesuatu dari luarnya saja. Setelah membaca tulisan ini, masihkah and melihat seorang santri (yang bersarung, bebaju kokok/batik, dan mengenakan sandal jepit sebagi alas kakinya) sebagai seorang yang berpikiran kolot? Atau, ketika anda mendengar kata liberal disematkan kepada seseorang, masihkah yang terbayang di benak anda seorang dengan setelan jas dan berdasi?

Related Posts

0 Response to "Mengintip Sisi Liberal Pesantren Salafi/Tradisional"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel