Bulan Rajab Disunahkan untuk Berpuasa?
Bulan Rajab adalah satu bulan haram dalam Islam, ketiga bulan lainnya
adalah bulan Muharram, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Perihal kemuliaan
bulan-bulan haram telah disebutkan dalam Al-Quran:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا
تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ
كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Artinya (-/+):
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya
empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin
itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. 9. At-Taubah: Ayat 36)
Di Indonesia, mayoritas kaum muslimin (terutama dari kalangan tradisi
NU) biasanya mengadakan perayaan tahunan untuk memperingati Isra’ & Mi’raj
Nabi Muhammad SAW pada bulan Rajab, dan orang sunda biasanya menyebutnya dengan
Rajaban. Hal tersebut merupakan ajaran turun-temurun yang merupakan bentuk
pengamalan dari Firman Allah SWT :
…. وَذَكِّرْهُم بِأَيَّامِ اللَّهِ …..
Artinya(-/+):
“ … dan
ingatkanlah mereka akan hari-hari Allah …” (Q.S. 14.Ibrahim: Ayat 5)
Menurut Habib Prof. Quraish
Shihab, yang dimaksud dengan “hari-hari Allah” adalah
hari-hari/peristiwa-peristiwa dimana Allah memberi ni’mat (seperti
diselamatkannya Bani Israil dari kejaran pasukan Firaun) dan adzab (seperti
dihukumnya Bani Israil karena menyembah patung anak sapi).
Bukan hanya peristiwa Isra &
Mi’raj saja yang terjadi pada bulan Rajab, namun ada banyak peristiwa-peristiwa
bersejarah Islam lain, salah satunya adalah perpindahan Nur Nabi Muhammad SAW
dari Sayyid Abdullah kepada Sayyidah Aminah yang terjadi pada malam Jumat
tanggal 10 Rajab sekitar tahun 54 SH. Oleh karena itu, pada tanggal 1 sampai 10
(yang puncaknya adalah pada tanggal 10) Rajab disunnahkan untuk berpuasa
sebagai tanda rasa syukur kita kepada Allah akan proses perpindahan Nur Nabi Muhammad
SAW dari ayahnya kepada ibunda beliau. Kenapa? Karena hal tersebut (secara
syariat) menjadi sebab akan dilahirkannya baginda Nabi SAW, sementara tidaklah
Nabi SAW diutus melainkan setelah dilahirkan.
Jujur saja, penulis belum
mengetahui sumber literasi tentang hal tersebut, namun penulis pernah mendengar
tentang peristiwa dan amalan tersebut dari al-marhum al-maghfur lah Saikhuna
KH. Maimun Zubair dari beberapa video pengajian beliau yang di-upload di
Youtube. Oleh karena itu, jika ada yang mengetahui sumber referensi tentang hal
tersebut, penulis mohon untuk berkenan membagi ilmunya di kolom komentar!
Mungkin sebagian pembaca akan
mengkritisi penulis karena berani menulis tentang peristiwa bersejarah yang
berkenaan tentang baginda Nabi SAW tanpa rujukan kitab Hadits, Syamail, ataupun
Tarikh. Oleh karena itu, penulis akan menjawab kritik yang mungkin muncul
tersebut.
Pertama, rujukan utama ilmu
(terutama dalam ilmu agama Islam) bukanlah kitab atau buku, melainkan
individu-individu yang pakar dalam bidang ilmu tersebut (dalam hal ini individu
tersebut adalah seorang manusia yang berstatus ulama). Kitab/buku hanyalah
salah satu media yang digunakan untuk mendokumentasi dan membantu menyebarkan
ilmu tersebut agar dapat menjangkau orang banyak dengan meminimalisir batasan
ruang dan waktu. Bukan hanya itu, kualitas sebuah kitab/buku pun ditentukan
oleh kualitas penulisnya. Sementara itu, bagi penulis kualitas keadilan dan kepakaran
al-marhum al-maghfur lah KH. Maimun Zubair dalam hal ini tidak diragukan
lagi. Maka penulis lebih memilih menjadi “muqallid” beliau. Jika pembaca merasa
memiliki kualifikasi sebagai “mujtahid” dalam hal ini, ya silahkan! Tapi jangan
paksa penulis untuk menjadi “mujtahid” ataupun “muqallid” sampean!
Kedua, andaipun penulis tahu
kitab/syaikh yang menjadi rujukan pernyataan beliau, tetap saja kekuatan referensi
penulis akan lebih kuat jika merujuk pada beliau daripada merujuk pada kitab.
Kenapa? Karena beliau sangat sangat jauh pakar, adil daripada penulis. Walaupun
beliau menunjukan rujukan beliau, belum tentu kita sebagai orang awam mampu
memahami dalil yang beliau hadirkan. Oleh karena itu, sebagai seorang
awam adalah lebih aman bagi penulis untuk “taqlid” kepada beliau. Seperti kata
Imam Syathibi Rahimahu Allah :
فتاوى
المجتهدين بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين
Artinya
(-/+):
“Fatwa-fatwa
para Mujtahid bagi orang-orang awam bagaikan dalil-dalil syariat bagi para
Mujtahid”
والله أعلم
بالصواب
0 Response to "Bulan Rajab Disunahkan untuk Berpuasa?"
Post a Comment